Aceh, 2004: Awal dari Segalanya
Penanganan bencana terbesar yang pernah saya lihat
STORY
P|M
4/17/20253 min read


Aceh, 2004: Awal dari Segalanya
Oleh: P | M
Saat gempa itu terjadi, saya berada di Medan. Waktu itu saya bekerja di sebuah perusahaan BUMN dengan penempatan di kota tersebut. Pagi itu, saya terbangun mendadak karena goncangan keras—saking kerasnya, saya sampai terjatuh dari tempat tidur. Dalam kondisi setengah sadar, saya hanya berpikir mungkin itu gempa lokal. Saya pun kembali tidur.
Siang harinya, saya mulai menyaksikan siaran berita di televisi. Laporan tentang gempa dan tsunami di Aceh mulai muncul, masih dengan angka korban yang belum terlalu besar. Namun dari jam ke jam, berita terus berdatangan. Headline demi headline memenuhi layar—baik dari stasiun nasional maupun internasional. Dan angka korban... terus bertambah. Ratusan. Ribuan. Lalu puluhan ribu.
Hari Senin, kantor kami mengadakan rapat darurat. Sebagai perusahaan konsultan yang sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan dalam kondisi apa pun, tim kami memang terlatih untuk menghadapi medan berat.
Bahkan beberapa dari kami pernah melakukan survei jalur pipa dan gas di hutan belantara Aceh, di tengah kondisi darurat militer. Ada pula yang pernah memetakan cadangan mineral di wilayah pegunungan.
Kami paham risiko. Tapi kami juga tahu bagaimana menghadapi lapangan.
Dan di rapat itu, ketika muncul pertanyaan:
“Siapa yang siap masuk ke Aceh lewat jalur darurat?”
Saya tahu, saya harus ikut. Bukan hanya karena kemampuan teknis — tapi karena ada panggilan yang lebih dalam.
Perjalanan Masuk ke Aceh
Kami bergerak dengan empat minivan dan empat truk bantuan. Bekal termasuk bahan bakar kami bawa sendiri dalam jeriken. Begitu melewati perbatasan Sumatera Utara, kami mulai menghadapi pos-pos sweeping—dari Marinir, Brimob, hingga separatis GAM.
Berbekal dokumen misi kemanusiaan, kami diperbolehkan lewat. Tapi tidak pernah tanpa rasa takut.
Malam hari saat kami akan masuk Aceh Timur, pimpinan rombongan memberikan briefing:
“Kita akan melalui wilayah rawan kontak senjata. Perhatikan kecepatan kendaraan. Jangan bersikap mencurigakan. Jangan salah ucap atau salah langkah.”
Kami tiba di Lhokseumawe pukul 4 pagi dan menyerahkan dua truk bantuan kepada Bupati Aceh Utara. Kami lanjutkan perjalanan ke Banda Aceh.
Sore itu, ketika mulai memasuki wilayah pegunungan Seulawah setelah Kabupaten Pidie, kami menyaksikan eksodus.
Jalan dari arah berlawanan dipenuhi warga yang berusaha meninggalkan Banda Aceh. Mobil, motor, pejalan kaki—semuanya bergerak perlahan dalam diam yang menyesakkan. Banyak yang terluka, banyak yang membawa hanya pakaian di badan.
Wajah-wajah mereka… lelah. Takut. Kosong.
Saya menahan air mata.
Dan hari ini, saat menulis ini—saya masih menangis.
Malam Itu di Banda Aceh
Kami tiba di Banda Aceh sekitar pukul delapan malam. Kantor kami masih berdiri, walau beberapa bagian retak. Rekan-rekan saya segera mencari keluarga mereka. Saya sendiri memilih beristirahat di kantor bersama sopir. Tapi malam itu, tidak ada yang bisa disebut istirahat. Gelap. Hening. Tidak ada listrik. Tidak ada suara.
Sekitar pukul 10 malam, beberapa rekan kembali. Mereka belum bisa masuk ke rumah—akses tertutup puing-puing. Bahkan untuk sekadar mencari tahu apakah keluarganya masih hidup, mereka belum bisa.
Saya Melihatnya Sendiri
Malam itu, salah satu rekan saya berkata:
“Saya lihat ada ratusan mayat ditumpuk di satu tempat.”
Saya membayangkannya, dan itu membuat saya takut. Tapi saya juga merasa… saya harus melihatnya sendiri.
Jam 11 malam itu juga, saya ikut ke luar. Kota gelap total. Jalanan penuh reruntuhan. Bahkan salah satu jalan utama tertutup puing setinggi dua lantai ruko.
Dan di sana, di tengah gelap dan timbunan sampah, saya melihat mayat-mayat di pinggir jalan.
Tergeletak begitu saja. Di bawah puing. Di sela-sela sampah. Tak tertutup. Tak tersentuh.
Saya hanya diam. Tidak bisa berkata apa-apa.
Saya hanya menyaksikan… dan menyimpan semuanya di dalam dada.
Bukan Hanya Luka Fisik
Di sepanjang perjalanan malam itu, jikapun kami bertemu orang yang masih hidup — mereka seperti tidak sadar mereka hidup.
Sebagian duduk di pinggir jalan, menangis, berteriak, meratap.
"Anakku hilang."
"Istriku belum ketemu."
"Tolong… ada yang bisa bantu?"
Fisik mereka terluka. Tapi yang lebih terlihat adalah luka di dalam.
Mata mereka kosong. Tidak fokus. Mereka bukan sedang hidup — mereka sedang bertahan dari kehilangan yang tak terbayangkan.
Awal dari Segalanya
Dari semua pengalaman itu, saya belajar satu hal besar:
Kita ini kecil. Sangat kecil.
Hanya dengan perubahan alam dalam sekejap, hidup kita bisa selesai.
Sejak saat itu, hidup saya berubah. Saya tahu bahwa bencana bukan hanya soal kejadian, tapi soal sistem. Soal kesiapsiagaan. Soal teknologi. Soal manusia. Dan soal niat untuk tidak pernah membiarkan tragedi sebesar ini terjadi tanpa kita lebih siap.
Sentinal ResQ Technology lahir dari kesadaran itu.
Dari luka yang pernah saya lihat.
Dari wajah-wajah yang pernah saya temui.
Kalaupun saya tidak bisa mengembalikan yang hilang, saya bisa ikut menjaga agar kita tidak kehilangan lagi.